Pengalaman Menjadi Muslim (Islamophobia?) di Amerika Serikat



Peristiwa 11 September 2001 yang meluluhlantakkan gedung World Trade Center di Kota New York dan Pentagon di Washington, D.C sebagian pengamat mencatat menjadi momentum kebangkitan kebencian Amerika terhadap Islam (Islamophobia). 


Namun ternyata, Islamophobia di negara yang dipimpin oleh Donal Trump ini sejatinya telah menjangkit dan tersebar sejak lama di kalangan masyarakat Amerika. Seorang pakar kajian Islam, Carn Ernt dalam bukunya yang berjudul Islamophobia in America: The Anatomy of Intolerance menyebutkan bahwa munculnya gerakan Islamophobia di Amerika ini bukan peristiwa yang tiba-tiba melainkan proses yang kompleks dan panjang. Bahkan negative steoreotype terhadap Muslim ini telah diprakarsai oleh British sejak tahun 1857.

Professor yang fokus pada studi keislaman di University of North Carolina, Chapel Hill ini menyebutkan bahwa fenomena Islamophobia di Amerika tidak hanya merasuki komunitas keagamaan seperti Kristen dan Yahudi, tetapi juga komunitas non-agama seperti atheis, sekularisme, dan lain-lain.

Uniknya dalam ulasan The Islamophobia Industry: How the Right Manufactures Fear of Muslims, yang ditulis oleh Nathan Lean dan John Esposito menyebutkan bahwa perkembangan Islamophobia di Amerika ini telah mendatangkan keuntungan atau sumber pemasukan utama banyak pihak. Seperti pemilik media, ormas, LSM, dan sebagainya. Maka wajar jika kemudian, isu anti-Islam terus bergema dan dimainkan oleh banyak pihak. 

The ISCC of New York di sudut sungai Manhattan


Jika mengutip salah satu pernyataan seorang Amerika yang hadir disebuah diskusi multicultural ethnics dan agama beberapa waktu lalu adalah “ yang memandang dan takut akan Islam adalah mereka yang kuper, tidak gaul, malas mengali kemajemukan Islam, serta tertutup mata kepala dan batinnya sehingga setiap mendengar kata Islam yang muncul di hati dan pikirannya adalah Islam yang keras, intoleran, ekstrim, tertinggal dan konservatif, padahal semua itu tidak terbukti kebenarannya”.

Memang berbicara tentang Islam di bumi Amerika ini takkan pernah ada habisnya. Walau demikian, akankah menjalani dan menjaga identitas sebagai muslim sebuah kesusahan? Pengalaman menjawab tidak.


Gedung pencakar langit di New York
Saat pertama kali tiba di Lehigh University, tanpa takut terdiskriminasi oleh mahasiswa lainnya, saya menyatakan kepada pimpinan fakultas bahwa muslim diwajibkan menjalankan salat sehari lima waktu, karenannya ruangan mana yang dapat saya gunakan untuk menunaikan kewajiban itu. Dengan penuh perhatian, Dr Ashley yang saat itu menyambut saya langsung menunjukkan dua ruangan yang dapat saya gunakan untuk menjalankan aktifitas keagamaan ini. 

Saban hari, kala mengarungi keindahan salah satu pustaka kampus, saya mendapati sebuah ruangan yang mana sajadah dan lima Al Qur’an tersusun rapi serta informasi yang termuat di dinding yang menyatakan bahwa dilarang ribut yang dapat menganggu pribadi yang sedang beribadah. Jika terbukti menganggu, maka pelaku akan mendapatkan pinalti dari kampus. Bahkan saya melihat sanksinya terkesan tegas yakni pelarangan beraktifitas di area public dan DO.


Lain di kampus, lain pula cerita saat saya ke gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Kota New York, Amerika. Sebuah konferensi bersamaan dengan peringatan hari Pendidikan international (International Education Day) berlangsung meriah. Presentasi sesi kedua oleh empat orang narasumber bertepatan dengan tibanya waktu salat ashar. Lantas, saya meninggalkan bangku dan menuju ke sudut kiri atas ruangan yang di sana terlihat ada ruang kecil yang di depannya mondar-mandir seorang petugas keamanan.

Suasana saat sedang conference dan tampak ruang yang saya gunakan untuk salat.


Jujur saja, ada sebuah kekhawatiran yang besar kala itu. Sambil terus berselawat dalam hati, saya langkahkan kaki menuju security dan kemudian meminta izin darinya untuk menggunakan salah satu sudut di ruang itu untuk mengerjakan shalat selama kurang lebih tujuh menit. Tak ada jawaban langsung darinya membuat saya dirundung khawatir akan diusir ke luar. 

Beberapa detik berlalu, yang terjadi malah di luar perkiraan, pria berkulit putih dengan sederet baret lengkap di lengan bajunya itu malah membawa saja ke sebuah ruangan tertutup berukuran 2,5x 2-meter dan mempersilakan saya menggunakan ruangan itu untuk salat. Ia dengan rela mengunci salah satu pintu ruangan dan berjaga di pintu yang lainnya demi memastikan saya menunaikan ibadah dengan khusyu’. 

Selepas salat ia bahkan menanyakan banyak pertanyaan akan Islam dan asal usul saya. Dari raut wajahnya, saya melihat ada ketertarikan akan Islam didirinya.

Pengalaman yang tak kalah menarik lainnya adalah saat penyelenggaraan Muktamar oleh Indonesian Moslem Society in America (IMSA) di negara bagian New Jersey, Desember 2018 lalu. Pada saat grand opening, dua pembawa acara mempersilakan tujuh orang pemuda/I dengan Bahasa Inggris yang sangat fasih untuk memperkenalkan diri ke lebih 1000 orang yang hadir di malam itu. Dilanjutkan dengan lantunan ayat al-qur’an oleh salah satu dari mereka.


Hafidh/ah di opening ceremony Muktamar IMSA 2018


Disaat yang bersamaan, MC menyebutkan bahwa mereka ini adalah anak-anak yang lahir dan tumbuh di Amerika tapi dengan izin Allah mampu menghafal al-quran 30 juz di umur 12 tahun. Allahu akbar! Selain itu, barisan-barisan gadis-gadis kecil meranjak remaja berparas blasteran tampak cantik dan ayu dalam balutan jilbab menutup dada. Saya yang duduk bersama panitia lainnya langsung takjub dibuatnya. Betapa tidak, Amerika yang tadinya sumber penyakit dan kita apatis untuk menemukan obat di dalamnya, ternyata Allah simpan penawar akan racun-racun itu dengan baik. Maha Besar Allah!

Berbagai peristiwa kasat mata yang terjadi dan saya rasakan langsung selama hidup beberapa bulan di Amerika ini semakin menguatkan keyakinan saya bahwa menjadi muslim di Amerika bukan lah sebuah kemustahilan. Meski tidak tertuang dalam peraturan perundangan- undangan akan kewajiban menjalankan syariat islam. 

Tapi kesadaran menjaga identitas keislaman dan kewajiban akan aturan serta laranganNya adalah sumber utama muslim di Amerika bisa hidup dengan tenang. Cukup dilandasi dengan niat yang baik, dilanjutkan dengan perbuatan yang nyata, sambil memohon pertolongan dariNya, maka insyaAllah semua akan dimudahkan oleh Yang Maha Kuasa dalam berbagai hal, muamalah, dan lain-lain. 

Di lain sisi, pengalaman ini pun semakin menyemangati saya sebagai seorang pemuda asal Seuramoe Mekkah untuk mengamati dan belajar akan indahnya menjadi Islam di bumi Amerika.


*Tulisan ini telah dimuat di Koran Harian Serambi Indonesia (Tribun News) di kolom Citizen Reporter pada 5 Januari 2019


CONVERSATION

0 Comments:

Posting Komentar

Thank you for read and comment on my blog.